Ketika Rusia tengah meningkatkan invasinya terhadap Ukraina, Amerika Serikat (AS) mengirim delegasi mantan pejabat pertahanan ke Taiwan sementara menjaga agar saluran komunikasi dengan sekutu Rusia, China, tetap terbuka.
Meskipun juru bicara Beijing terus mengulangi klaim Rusia yang menuduh NATO memprovokasi konflik dengan memperluas keanggotaannya selama bertahun-tahun, sejumlah pejabat AS bersikeras bahwa hubungan itu sedang tegang karena pertempuran di lapangan dan tanggapan terkoordinasi oleh Eropa dan Amerika Serikat.
“Tidak dapat disangkal bahwa China saat ini berada dalam relasi yang canggung ketika berupaya mempertahankan hubungan yang mendalam dan mendasar dengan Rusia,” kata Kurt Campbell, koordinator tim Presiden Joe Biden untuk kebijakan Indo-Pasifik di Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih.
Campbell mengatakan AS berharap China dapat memainkan peran penting untuk mendorong Presiden Rusia Vladimir Putin guna mempertimbangkan kembali invasi ke Ukraina, akan tetapi “kami yakin mereka [pejabat China] memilih untuk tidak mempertimbangkan terlebih dahulu.” China menahan diri untuk tidak menyebut tindakan militer Rusia di Ukraina sebagai “invasi,” dengan mengatakan bahwa China “memahami kekhawatiran Rusia terkait masalah keamanan.” Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin, pada Senin (28/2) di Beijing, mengulangi kemitraan negeri tirai bambu itu dengan Rusia.
“China dan Rusia adalah mitra koordinasi strategis yang komprehensif.
Hubungan kami menunjukkan sikap non-aliansi, non-konfrontasi, dan tidak menarget pihak ketiga mana pun,” kata Wang dalam sebuah konferensi pers.